Menjamurnya seni hadrah yang mengiringi pembacaan selawat dalam maulid Simthud Durar akhir-akhir ini harus berterima kasih kepada Syaikh Ahmad Qusyairi bin Shiddiq yang menulis sebuah karya pembelaan atas hadrah lebih 100 tahun lalu. Melalui buku kecil 55 halaman ia tulis risalah pembelaan itu dengan judul Idz-harul Bisyarah fi Ihyai Thariqatil Hadrah.   

Tarekat Hadrah adalah tarekat mahabbah (jalan diliputi cinta kepada Rasulullah). Meskipun Tarekat Mahabbah (juga Tarekat Hadrah) tidak tercantum sebagai thariqat secara definitif dan muktabar, namun cara ini juga bisa menjadi jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah, sebagaimana tarekat-tarekat pada umumnya.

https://pbs.twimg.com/media/EEq2xOKU0AEU6d9.jpg
Tim Hadroh YMI Pandeglang ini
beranggotakan anak-anak asuh YMI yang sudah SMA.
Berkeliling desa menggelorakan seni Islam.
Photo twitter @munashoroh

Penggagas tarekat ini adalah Habib Syaikh bin Ahmad bin Abdullah bin Ali Bafaqih yang lebih terkenal dengan sebutan Habib Syaikh Boto Putih Surabaya. Ia adalah seorang ulama kelahiran kota Syihr, Yaman pada tahun 1212 H /1812 M yang datang ke Surabaya pada tahun 1251 H/1830 M. Habib Syekh tercatat juga sebagai guru KH Saleh Darat semarang. Habib Syaikh bin Ahmad Bafaqih datang ke Surabaya (setelah tinggal di Semarang) dalam usia 39 tahun. Habib dikenal sebagai mursyid tarekah (guru tarekah), ahli fiqih, ahli ilmu tauhid, dan tasawuf. Ia juga mengajar para santri dengan melalui “thariqah mahabbaturrasul” (metode cinta Rasul) dalam dakwahnya.

https://pbs.twimg.com/media/Ecy2bkkU0AAoPTP.jpg
Latihkan Musik Hadroh,
Satgas Pamtas Yonif R 200/BN
Bangun Generasi Unggul di Perbatasan
Photo Twitter @tni_ad

Habib Syaikh bin Ahmad Bafaqih merupakan salah satu sanad ilmu fiqih & ilmu hadis di Indonesia. Ia juga guru berbagai aliran tarekat seperti: al-Naqsyabandiyah, al-Qadiriyah, al-Syadziliyah, al-Samaniyah, dan lain-lainnya. Habib Syaikh wafat pada bulan Syawal 1289 H/ 1888 M, dalam usia 77 tahun dan dimakamkan di Boto Putih, Surabaya, bersebarangan jalan dengan Makam Sunan Ampel.

Tarekat mahabbaturrasul (metode cinta Rasul) berupa bacaan-bacaan shalawat yang diajarkan Habib Syaikh bin Ahmad Bafaqih, Boto Putih, Surabaya itu. Sepeninggalnya, tarekat itu dilanjutkan oleh santri-santrinya seperti Habib Abdullah bin Muhammad Bafaqih (makam Boto Putih), Bang Nahsan (makam Pegirian, Surabaya),  Habib Seqqaf as-Seqqaf (makam Pegirian, Surabaya), KH. Abdurrahman, Syaikh Ubaidah, Syaikh Abdul Aziz al-Bimawi (NTB), Habib Umar bin Thoha (Indramayu) dan Syaikh Abdurrahman al-Baweani.

https://pbs.twimg.com/media/Dbsck_YVMAAk7xK.jpg
Suku Dinas Pariwisata dan Budaya Kepulauan Seribu melakukan pembinaan dan pelatihan seni tari, marawis dan hadroh kepada pelaku seni di Pulau Kelapa. Kegiatan tersebut dilaksanakan di Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) Nyiur Melambai.
Photo twitter @DisparbudDKI

Namun, kemudian yang banyak pengikutnya dalam  mengembangkan tarekat ini itu adalah KH. Abdurrahman. Setelah ia wafat di Mekah, tarekat ini kemudian diteruskan anaknya KH. Abdul Hadi dan selanjutnya di tangan KH. Abdurrahim Pasuruan di awal abad 20 yang membuat hadrah merebak jauh ke pedalaman Nusantara hingga berdiri ISHARI (Ikatan Seni Hadrah RI) tahun 1959.
Memang, diakui, perkembangan hadrah tidak berjalan mulus karena mendapat penentangan dan perlawanan baik dari kalangan yang tak suka agama dan juga kalangan yang faham agama yang memandang hadrah sebagai haram. Kiai Abdurrahim tetap tegar dan tetap mengembangkan seni hadrah ini dengan menyebarkan Maulid Syaraful Anam.

Seorang ulama membuat pembelan atas thariqat hadrah ini alam sebuah risalah yang diberi nama Idharul Bisyarah fi Ihai Thariqatilhadrah (Unjuk Kegembiraan dalam menghidupkan Tarekat/jalan Hadrah). Karena ditulis dalam bahasa Arab, maka yang dituju adalah kalangan yang mengharamkan hadrah. Buku ini ditulis Syaikh Ahmad Qusyairi pada tahun 1341 H atau sekitar tahun 1922. Usia Syekh Ahmad masih 30 tahun (berdasar hitungan Hijriah) dan 28 tahun (bersadarkan hitungan Masehi).

Achmad Qusyairi adalah putra kelahiran Lasem, Jawa Tengah.  Ia lahir di dukuh Sumbergirang, Lasem, pada 11 Sya’ban 1311 H atau 17 Pebruari 1894 M. Ayahandanya adalah seorang yang dikenal wali bernama KH. Muhammad Shiddiq yang makamnya di kota Jember. Adik dan kemenakan (menantu) yang menonjol adalah KH Mahfud Shidiq, KH Ahmad Shiddiq, KH Ali Manshur dan KH Hamid Pasuruan.

Karya ini bukan karya pertamanya. Sebab, diduga banyak catatan-catatan Syaih Ahmad yang tidak diterbitkan, karena bentuk syair yang hanya dibagikan kepada murid dan sahabatnya. Ahmad sejak belia sudah menjadi penulis. Risalah Al-Lasimiyah yang ditulis dalam bentuk syair bahar Rajaz tahun 1334 H adalah salah satu karyanya saat ia berusia 23 tahun. Teetu saja karya besarnya nazam Tanwirul Hija yang ditulis pada tahun 1342H/1923 M yang mendapat perhatian Mufti Mazhab Maliki di Mekah Syaikh Ali Al-Maliki untuk mensyarahinya.

Musik adalah Keindahan
Menurut Syekh Ahmad, musik adalah keindahan yang dianugerah Allah. Suara indah seseorang n kmamuan melahirkan karya-karya indah adalah anugerah Allah yang disebut dalam ayat Al-Quran, yazidu fil khalqi ma yasya’ (hlaman 6). Dikiaskan kemudian dari kicauan burung itu pada suara-suara alat musik sepajang tidak dilarang oleh agama. Suara-suara alat-alat musik tak ubahnya keindahan kata-kata dan kemerduan suara.

https://pbs.twimg.com/media/DnrPJstUcAAPFPk.jpg
Foto Seni musik congdoh (keroncong hadroh) PP Nurul Huda Pringsewu

Syair, puisi dan lirik adalah keindahan kata-kata yang kadang pengucapannya membawa pada nada-nada tertentu, hal ini alami. Sesuatu yang indah akan diikuti keindahan yang lain. Ketika seseorang menikmati keindahan baik melalui mata atau telinga akan ada reaksi termasuk gerakan spontanitas.

Dalik-dalil yang dikemukkan adalah dalil-dalil penyambutan Rasulullah saat masuk kota Madinah. Bgeitu juga saat Rasulullah masuk rumah Abu Bakar dan disuruh membiarkan budak bersenang-senang degan menabuh rebana (duff).
Di kalangan Tabiin juga terjadi pada Said bin Musayyab. Imam Ghazali mengutip Abu Thalib Al-Makki dalam Al-Qut, di Mekah pada zaman Tabiin itu sudah terbiasa orang menikmati lagu-lagu pada haru-hari penting. Demikian Junaid Al-Baghdadi, Sirri Assaqthi, Dzun Nun Al-Masir mereka akrab dngan meindahan musik (halaman 9).

Malah Imam Syafi’i pernah bersama imam Muzani mendengar seorang bernyanyi dalam syair bahar Thawil. Imam Syafi’i behenti untuk mendengarkannya.. “Tidakkah lagu-lagu itu membuatmu riang?” tanya Imam Syafi’i.  Imam Muzani menjawab: “Tidak.” Imam Syafii kemudian berkomentar: “Engkau tidak memiliki selera yang bagus (hiss shahih).” Ahmad mengup dari Syarah Ihya Ithaf Sadatil Muttaqin karya Syaikh Murtadla Azzabidi.

Terkait dngan gerakan yang bias muncul dalam Hadrah, memngangkat tangan, gerakan maju-mundur dan naik-turun, tak soal. Ibnu Qutaybah dalam Ar-Rukhshah bercerita tentang Muawiyah bin Abi Sufyan yang menikmati musik di rumah Abdullah bin Ja’far Attabbar yangh spontan menggerakkan kakinya. Ketika ditanya, ia menjawab: “Seorang mulia (al-karim) itu adalah periang (tharub).”

Hal ini membuat pengarang mentolerir gerakan sufi. Ia mengutip Ats-Tsa’alabi yang becerita bahwa Sahal Ash-Sha’luqi berkata: “Sbelumknya aku tak tahu apa alasan tarian sufi (ar-raqsh asshufiyah) hingga aku mendngar Abu Fath Addusty: “Nyaris aku mnari karena gembia. Aku faham bahw kata-kata indah (al-kalamul hasan) membuat sesorang mnari.” Dalam halaman berikutnya, Syaikh menyebut ada batasan-batasan dalam menari yang dibilehkan.

Data-data tentang musik memang cukuo kaya dikemukakan Syaikh Ahmad sbgan banyak mengutip kitab-kitab tua. Hingga ia kemukakan, pada saat-saat penting dan penuh kegembiaan nyanyan-nyanyain itu bisa didendangkan, yang hukumnya bisa mubah dan mandub. Alasannya? “Tahrikan liziyadatis surur,” tulis Syaikh. Musik dan lagu-lagu itu akan menambah kegembiraan. Namun, betatapun, Syaikh Ahmad membatasi musik yang diperbolehkan adalah musik yang tidak bercampur dengan maksiat. Musik hanya dengan iringan duff (rebana), baik rebana yang memiliki kerincing (jalajil) atau tidak.

Kata penting lainnya, Syaikh mengajak semua umat toleransi pada pendapat ulama lainnya, menghormati umat Islam yang lain dan mengembangkan sikap husnudzan.

Pada bagian akhir buku yang diterbitkan Penerbit Bungkul Indah, Surabaya ini,  Syekh Ahmad menjelaskan tentang bahar-bahar (ilmu ‘arudl) dalam syair Arab. Dan karena tulisan ini berbentuk risalah, tidak ada pem-bab-an (tabwib) dan juga pasal-pasal (tafsil).  (Musthafa Helmy)

Sumber: Dimuat dalam Majalah Mimbar Ulama edisi November 2021